Minggu, 26 Februari 2012

marsudi patitising tindak pusakaning titising hening #1

Pada edisi kali ini, saya akan menceritakan ingatan-ingatan saya mengenai apa yang dulu pernah guru silat saya ajarkan kepada saya. Beberapa hari belakangan ini, saya banyak merenungi kejadian-kejadian yang saya alami. Saat merenung tersebut, saya teringat akan hal-hal yang dahulu pernah saya pelajari dari guru-guru saya.

Marsudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening, merupakan kepanjangan dari nama perguruan silat tempat saya bernaung, yaitu Merpati Putih. Dahulu saat masih di Jember dan masih sering berlatih, saya sering mengabaikan maksud dari kalimat diatas, yang saya pikir adalah bahwa "berlatih silat adalah untuk bertarung". Marsudi Patitising Tindak Pusakaning Titising Hening mungkin kalau diartikan secara harfiah menjadi "mencari sampai mendapatakan tindakan yang benar dengan keheningan" . 

Saat ini saya merantau di Bandung Jawa Barat untuk kepentingan akademik. Sembari kuliah, saya juga bekerja pada sebuah "usaha konsultansi" yang dibina oleh oleh salah satu professor saya. Selama berada di Bandung ini banyak hal dan orang  yang saya temui. Pengaaman-pengalaman itu membawa saya kembali untuk merenungi apa kira-kira makna kalimat yang selalu didengungkan oleh pelatih saya yang saya hormati bapak Adi Budiyanto, semoga beliau selalu diberi keselamatan dan kesehatan. 

Ok jadi seperti ini kira-kira hasil dari apa yang saya renungkan. Pada dasarnya kalimat "Marsudi Patitising Tindak Pusakaning Titising Hening" adalah suatu rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana seorang pendekar itu bertindak. 

Ok biar tidak roaming, maka saya jelasakan terlebih dahulu definisi dari pendekar dan pesilat. Pendekar dalam pengertian saya tidaklah selalu berkonotasi pada orang yang kekar dan jago bertarung, karena menurut saya juga bahwa ada perbedaan yang jelas antara petarung dan pesilat. Petarung lebih mengarah pada seorang yang gemar bertarung, sedangkan pesilat merujuk pada  orang yang berilmu, yang dengan ilmunya tersebut dia dapat memimpin dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam komunitas yang dipimpinya. Petarung mungkin hanya dapat mengoperasikan senjata-senjata fisik seperti tubuhnya, pedang, panah, tombak dsb, tapi pesilat memiliki senjata khusus, yang dinamakan akal pikiran atau cipta, rasa dan karsa. Ya Pesilat pada dasarnya adalah seorang penuntut ilmu yang tekun dan diharapkan mampu menjadi pemimpin bagi kaumnya. Pesilat memiliki rasa welas asih dan ramah, berbeda dengan petarung yang selalu merujuk pada tingkah laku berangasan. Seorang yang telah mumpuni ilmunya, maka disebut sebagai pendekar. Jalan mencapai gelar pendekar tidaklah mudah, bukan saja diuji secara kekuatan fisik, tapi juga diuji secara mental oleh lingkungan hidupnya. Dengan definisi diatas, maka saya dapat mengatakan orang yang terus-terus belajar fisika, misalnya, hingga dia jadi benar-benar ahli dan dapat hidup dengan selaras di masayrakat, dapat pula menyelesaikan permasalahan di masyaraktany dengan ilmunya, maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai pendekar. Orang yang berlatih terus memasak, hingga menjadi ahli dan dapat mendayagunakan ilmunya  di masyarakat juga merupakan seorang pendekar.

Tahapan pendekar tidak lagi hanya berhadapan secara fisik melawan kekautan fisik, preman dan sejenisnya. Pemegang status pendekar haruslah telah matang benar pikiranya sehingga mampu memebdakan mana baik mana buruk dan mana benar mana salah, atau kasarnya Cipta, rasa dan karsanya telah bekerja dengan selaras, oleh karena itu ujian menajdi pendekar adalah juga meliputi bagaimana orang tersebut dapat menghadapi tantangan kebenaran yang ada di depanya. Simple? ya sederhana memang kedengaranya, tapi sulit lho di jalankan, mengingat kompleknya kehidupan manusia saat ini. Kalau hidup idealis saja tanpa memperhatikan masyarakat sekitar, itu sih bukan pendekar namanya, karena dia tidak membawa manfaat bagi orang disekitarnya, ibaratnya dia hanya hidup sendiri. Ikut arus dengan arus kerusakan yang ada  dimasyarakat, itu juga bukan seorang pendekar, karena dengan demikian berarti dia mungkin tau mana benar mana salah, tapi dia tidak mengikutinya. 

Kalimat "marsudi Patitising Tindak Pusakaning Hening" kemudian menjadi senjata utama seorang pendekar dalam melintasi ujian-ujian kehidupan yang ditemuinya. Pehamanan saya terhadap kalimat tersebut adalah bahwa pada dasarnya seorang pesilat yang ingin menajdi pendekar, haruslah memiliki keteguhan jiwa. Keteguhan jiwa itu diwujudkan dalam ketenanganya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang ditemuinya, dengan ketenangan dan keteguhan hati mempertahankan apa-apa yang dianggapnya benar, maka kemampuan naluri seorang pesilat yang telah layak untuk menjadi pendekar akan menuntun pemikiranya menemukan cara yang benar untuk mengatasi permasalahanya. Solusi yang dimaksud disini tentunya adalah solusi yang baik bagi semua pihak tanpa mengorbankan nilai kebenaran tentunya. 

Sebenarnya sih tidak cukup dengan tenang lho. Ketenangan disini harus-benar-benar tenag, tidak ada rasa takut sama sekali. Pertanyaanya, apakah benar-benar tenang? itu yang sulit dijawab. Berdasarkan renungan saya, manusia itu tidak bisa benar-benar tenang dalam memecahkan masalahnya, kenapa? karena manusia itu masih takut dengan nasibnya ketika berbuat benar, manusia masih khawatir dengan keselamatnya dan lain sebagainya. Saya merenungkan masalah ini, sembari menjalani pekerjaan yang, yaaaah menurut saya agak-agak "kotor" lah karena berurusan dengan aparatur negara hahah, no offense ya. Saat merenung saya teringat rupanya ada satu hal yang sering pesilat lupakan, hal tersebut tercantum pada janji anggota Merpati Putih, yaitu "Taat dan Percaya pada Tuhan yang Maha Esa", Mengabdi dan berbakti pada Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indenesia, serta Setia dan Taat pada Perguruan". Seharusnya ketika manusia sudah meyakini (percaya) pada Tuhan yang MahaEsa, maka sudah tidak ada lagi yang perlu ditakutkan lagi dalam mengambil keputusan menganai kebenaran. Tidak juga manusia, tidak juga nasibnya sendiri. Dengan tidak adanya rasa takut tersebut, maka yang perlu dipikirkan tinggal bagaimana yang benar tetap terlaksana, dan dicapai suatu win-win solution untuk semua pihak yang bersangkutan.

Hingga titik ini saya memahami bahwa, pada dasarnya latihan pernafasan dan teknik tat gerak atau pertarungan yang diajarkan di Merpati Putih haruslah dipahami bukan saja sebagai ritual fisik belaka, melainkan juga merupakan olah jiwa. Latihan-latihan tersebut sebenarnya mengarahkan kita ke arah keberanian mengikuti kata hati dan keberanian mengambil keputusan-keputusan yang tepat. Coba anda ingat-ingat lagi, bukankah pada dasarnya latihan naluri, getaran dan lain sebagainya itu hanya bisa sukses ketika kita meyakini apa-apa yang dikatakan oleh hati kita?, sekali anda menggunakan pikiran duniawi anda, seperti rasa takut jatuh rasa khawatir maka anda pasti akan gagal. Latihan tata gerak dan pertarungan di arena mengajarkan pada kita bagaimana mengambil keputusan di saat yang sempit dengan cepat dan tepat. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar